Kanal

H M Sulaiman Khatib Pendiri  Muhammadiyah di Kuantan Singingi

SITUASI malam itu betul-betul mencekam.  Ada segerombolan orang tak dikenal tiba-tiba masuk ke halaman rumah  kami tanpa permisi.  Ayah yang tengah istirahat tentu terkejut dengan kedatangan tamu tak diundang tersebut. Ayah mengintip dari lubang rumah dan jendela  apa gerangan yang  terjadi.

Dari rumah  berdinding papan beratap daun rumbia itulah Ayah samar-samar melihat ada  orang tak dikenal  berupaya mengancam kesalamatan dirinya.  Ayah terdiam sejenak. Pikirannya berkecamuk.  Melakukan perlawanan tak  mungkin. Bertahan sama saja dengan bunuh diri karena lawan tak seimbang.

Ayah hanya bisa berdoa semoga Allah memberikan perlindungan kepada diri dan keluarganya agar selamat dari ancaman orang tak dikenal  itu. Ayah berdoa:  “Ya… Allah selamatkanlah aku dan keluargaku dari marabahaya ini.”

Melihat situasi yang tak menguntungkan itu Ayah secepat kilat mencoba menyelamatkan diri melalui pintu berukuran kecil ke belakang rumah.  Ayah lari ke hutan tak jauh dari rumah  meninggalkan anak-anaknya yang masih terlelap tidur.

Dalam situasi yang gelap, orang tak dikenal yang mencari Ayah  tak menemukan jejak ayah. Ayah  berhasil kabur menyelamatkan diri tanpa sempat   meninggalkan pesan kepada anak-anaknya yang masih kecil dan sedang tertidur pulas.

Orang tak dikenal itu tentu kesal karena  “target” yang mereka cari  tak berhasil ditangkap. Mereka pulang dengan kesal dan  tangan hampa.

Esok harinya orang  tak dikenal itu kembali datang mencari Ayah ke rumah.  Yang dicari tentu tak  kunjung dapat karena sudah melarikan diri ke hutan belantara.

Untuk melampiskan rasa kesal, mereka menembaki buah kelapa yang berada di halaman rumah.  Buah kelapa berjatuhan dari tandan lalu airnya mereka minum sebagai pelepas dahaga dengan rakusnya. Setelah puas  minum air kelapa,  mereka pergi tampa pamit dan tak pernah datang lagi.

Ketika angkatan udara pusat memborbardir Lubuk Jambi tahun 1958,  ibu dan empat anaknya yang masih kecil: Yunilas, Sayuti, Maimun, dan Akmal ikut melarikan diri bersama masyarakat ke dalam hutan sampai ke hutan di kawasan Desa Sungai Manau masih di kecamatan Kuantan Mudik.  Akibat pelarian itu Kak Maimun kena  getah jelatang dan membekas di kulitnya.

Lama ayah  menghilang.  Barulah ketika  pasukan PRRI kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, ayah  kembali bergabung bersama keluarga tercinta. Ayah ikut  bersama pasukan PRRI menyerahkan diri ke tentara Pusat di SD Lubuk Jambi tahun 1960 disaksikan Camat Kuantan Mudik, Ntan Hoesin.

Penyerahan itu dikawal pasukan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat  (RPKAD) yang merupakan Pasukan Khusus Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat sebelum menjadi Komando Pasukan Khusus  dan pasukan Batolyon Diponegoro yang bertugas di  Lubuk Jambi.

Peristiwa mencekam itu  diceritakan kembali oleh Nurbdra -  anak H. Muhamad Sulaiman Khatib dari pernikahan dengan istri keduanya Intan Sarah. Sulaiman Khatib adalah Sekretaris Pertama Ranting Muhmmadiyah Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik, Kuantan Singingi.

Peristiwa penculikan terhadap Sulaiman Khatib  waktunya diperkirakan bersamaan dengan penculikan Ketua Ranting Muhammadiyah Lubuk Jambi,  Ibad Amin tahun 1958.  Sulaiman Khatib  berhasil melarikan diri sementara Ibad Amin  hilang tanpa jejak setelah diculik.

Yang menculik adalah tentara Pemerintah Pusat yang menumpas pasukan PRRI di  Lubuk Jambi dan sekitarnya. Tentara Pusat melakukan Operasi 17 Agustus yang dipimpin Kolonel Ahmad Yani menumpas perlawanan PRRI di Sumatra Tengah yang meliputi Riau, Jambi, dan Sumatra Barat.

Di Lubuk Jambi operasi tentara Pusat  dipimpin Kapten Fadillah yang namanya kini diabadikan sebagai tugu di pasar Lubuk Jambi. Tugu itu masih ada sampai sekarang, tepatnya di pasar Lubuk Jambi  berdekatan dengan SD 001 Lubuk Jambi.

Kendati hanya dapat cerita dari kakak-kakaknya Yunilas, Sayuti,  dan Maimun, namun  Nurbadra masih mengingat dengan jelas jalan cerita itu.

“Saat kejadian mencekam itu  saya belum lahir,” ujar  Nurbadra yang lahir  Desa Kinali pada 1960 sebagai anak ke-5 dari 7 bersaudara ini.

Nurbadra kini pulang kampung ke Desa Kinali bersama suami  tercinta  Nusirwan Ali setelah pensiun sebagai  Guru SMP 2 Tembilahan, Indragiri Hilir pada 1 Januari 2021. Sedangkan sang suami  tercinta asal Desa Paboun sudah pensiun juga sebagai Kepala SD Muhammadiyah di Tembilahan.

Menurut Nurbadra, ayahnya dicari karena dicurigai Pemerintah Pusat  pro dengan pemberontak PRRI seperti halnya tokoh-tokoh Muhammadiyah di  Lubuk  Jambi. Namun hanya ayah dan Ibad Amin yang paling dicari. 

“Ayah kami selamat, sementara  teman ayah Ibad Amin  hilang tanpa jejak,” ujarnya.

Jika Ibad Amin disebut sebagai Pembuka Dakwah Muhammadiyah, Sulaiman Khatib adalah orang yang menjemput Muhamamdiyah di Padang Panjang untuk dikembangkan Lubuk Jambi.

Sulaiman Khatib menjemput dan membawa Muhamadiyah ke Lubuk Jambi karena kegelisahannya sebagai tokoh muda dan terpelajar. Pikirannya yang selalu menginginkan perubahan dan pembaharuan ajaran Islam menemukan pilihan aktivitasnya ketika ia sekolah dan  berinteraksi dengan  tokoh-tokoh Muhammadiyah di Minangkabau.

Dari interaksi itu, akhirnya Sulaiman Khatib dan kawan kawan di Lubuk Jambi yang sebagian besar pernah belajar di Padang Panjang seperti Saad Manan, Raja Ramli dan Arsyad sepakat mendirikan persyarikatan   MUHAMMADIYAH di  LUBUK JAMBI. 

Mereka tertarik karena ide pembaharuan yang dikembangkan Muhammadiyah sesuai dengan situasi dan pikiran mereka sebagai kaum muda terpelajar. Yakni membersihkan agama dari karat-karat adat dan tradisi yang terbukti telah membuat umat Islam terbelakang dan tertinggal dari umat-umat lain.

Pada tahun 1933, Sulaiman Khatib bersama Dasin Jamal menjumpai konsul  Muhammadiyah Minangkabau, Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang akrab dipanggil dengan AR Sutan Mansur di  Padangpanjang. Dari pertemuan itu sepakati bahwa  AR Sutan Mansur akan mengutus Ibad Amin untuk mempersiapkan pendirian ranting  Muhammadiyah di Lubuk Jambi.

Ibad Amin adalah putra Lubuk Jambi asal Desa Sangau saat itu sedang melaksanakan tugasnya sebagai guru di Kerinci, Sungai Penuh  sebagai utusan Thawalib Pandangpanjang. 

Sulaiman Khatib tentu menyambut usulan ini. Apalagi orang yang akan diutus itu adalah senior, dan kawan seperjuangan. Mereka juga pernah sama-sama belajar di Thawalib Padang Panjang.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pada September 1933, Ibat Amin menerima mandat dari AR Sutan Mansur  mendirikan ranting Muhammadiyah di Lubuk Jambi.  Bergegas Ibad Amin  pulang menjumpai Sulaiman Khatib dan  Dasin Jamal  untuk mempersiapkan pengukuhan pengurus ranting Muhammadiyah di  Lubuk Jambi.

Setelah selesai mengurus segala sesuatu yang menyangkut dengan perizinan kepada Pemerintah, Penghulu, dan Orang Godang, Ibad Amin mengadakan rapat persiapan. Rapat persiapan itu dilaksanakan di SURAU GODANG, Pasar Lubuk Jambi.

Lalu pada 9 September 1933, terbentuklah kepengurusan Muhammadiyah ranting Lubuk Jambi.  Semua tokoh yang mengambil inisiatif dan jadi pengurus pertama ranting Muhammadiyah adalah putra Lubuk Jambi sendiri. 

Akhirnya Ibad Amin ditunjuk sebagai Penasehat dan Ketua,  Mufasin (Wakil Ketua), M. Sulaiman Khatib (Sekretaris), Raja Ibrahim (Keuangan),  Saad Manan dan Arsyad (Pembantu). Kepengurusan ini langsung berhubungan dengan Pengurus Utama di Yogyakarta.

Sebagai sekretaris  dalam persyarikatan Muhammadiyah, Sulaiman Khatib punya peran penting dalam perjalanan tumbuh kembang   Muhammadiyah di Lubuk Jambi. Apalagi sesaat setelah kepengurusan Muhammadiyah terbentuk langsung mendapatkan pertentangan dari kalangan Ninik Mamak dan Kaum Adat.

Kaum adat dan ninik mamak menganggap Kehadiran Muhammadiyah memberantas dan menentang kebiasaan yang telah mendarah daging dalam kehidupan mereka. Walaupun mereka sendiri sadar  kebiasaan itu merusak dan bertentangan dengan ajaran Islam yang berdasarkan al-Qur‘an dan Hadits.

Tindak tanduk Muhammadiyah mereka anggap dapat merusak tatanan kehidupan yang telah mapan, serta menjatuhkan kewibawaan ninik mamak dan kaum adat di tengah masyarakat.

Maka dilancarkanlah fitnah terhadap para tokoh Muhammadiyah agar masyarakat membenci dan mengucilkan serta menjauhi dan selalu berusaha menghalangi pertumbuhan dan perkembangannya.

Namun demikian, betapapun hebatnya tantangan yang dihadapi atas kelahiran Muhammadiyah ini, para pendirinya tak pernah surut langkah. Semakin dihalangi, Muhammadiyah yang dipelopori kaum muda intelektual malah makin berkembang.

Pada masa kepemimpinan HASAN ARIFIN  (1935-1940)  Muhammadiyah ranting Lubuk Jambi menjadi empat ranting. Yaitu Ranting Kinali (1937), Ranting Sungai Pinang (1938), Ranting Pebaun, dan Ranting Cengar (1938).  Setelah itu menyusul  ranting lainnya seperti  Telukkuantan,  Beserah, Peranap hingga  Indragiri.

Dan seiring dengan perkembangan itu ranting Muhamadiyah Lubuk  Jambi berkembang menjadi cabang.  Dan,  cabang Muhamamdiyah Lubuk Jambi merupakan cabang Muhamadiyah pertama di Riau.

Pada masa penjajahan Jepang (1942-1946),  perjalanan Muhammadiyah sedikit mengalami hambatan. Namun bukan berarti mereka mati. Sekolah Muhammadiyah dengan nama NISWA  di Desa Kinali masih aktif walaupun banyak sekolah lain yang terpaksa ditutup. Niswa itu kini menjadi cikal lahirnya Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Desa Kinali.

Hasan Arifin yang diangkat sebagai Konsul Muhammadiyah Riau Indragiri pada tahun 1943, kurang dapat melakukan pembinaan organisasi karena sulitnya berkomunikasi. Kekejaman Jepang terhadap rakyat yang selalu dalam keadaan terancam dalam bahaya membuat semuanya tidak berkembang. Beliau sendiri turut dipenjarakan oleh pemerintahan Jepang.

SEBAGAI tokoh Muhammadiyah di  Kuantan Mudik, Sulaiman Khatib menempatkan SURAU DUKU di Desa Kinali sebagi pusat dakwahnya.  Konon penamaan surau itu karena di lokasi surau itu berdiri banyak pohon duku.

Surau itu didirikan ayah Sulaiman Khatib bernama Luhid  seorang ulama dan guru agama terkenal di Desa Kinali. _Luhid_ punya enam orang anak yakni: M. Yusuf, M, Saleh, M Sulaiman Khatib, Zainab, Malian Khatin, dan Adam Khatib.

Surau Duku itu kini  masih dipakai sebagai tempat pengajian dan pertemuan anak, cucu, dan cicit  Luhid.  Pada pertengahan puasa Ramadhan keluarga besar Luhid buka bersama dan usai lebaran keluarga ini melaksanan halal bihalal di situ,” ujar Nurbadra.

Surau Duku ini punya sejarah  panjang dalam sejarah tumbuh kembang dakwah Muhammadiyah di Kuantan Mudik.

Konon tokoh Muhammadiyah dan politik H Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA) pernah tidur di surau itu ketika melaksanakan misi dakwah dan politik di rantau Kuantan.

HAMKA adalah ulama terkenal dan tokoh Partai Masyumi yang berhubungan erat dengan tokoh Muhammadiyah di Rantau Kuantan.

Dalam perjalananan dakwahnya, HAMKA pernah  diminta Abdul Malik untuk meresmikan  Mesjif Raya AT-Taqwa Baserah di Kuantan Hilir.

Abdul Malik adalah orang tua dari  Wakil Gubernur  Riau (1988-1993)  IR. Firdaus Malik . Abdul  Malik adalah  pendiri dan pembuka dakwah Muhammadiyah di Kuantan Hilir. 

Abdul Malik merupakan _kawan akrab_ *HAMKA.  Di rumah Abdul Malik juga  HAMKA* pernah menginap ketika menjalankan misi dakwahnya ke Baserah.

Kemudian dalam perjalanan politiknya, HAMKA juga yang melantik Sarmin Abrus sebagai Ketua Masyumi Ranting Kuantan Hilir tahun 1947.  HAMKA juga  orang yang memberi nama  anak Sarmin Arus bernama Rusjdi S. Abrus yang lahir di Baserah pada 29 Nopember 1947. 

Ketika melihat anak ke-5 Sarmin Abrus dan Rogo Sumad  baru berumur seminggu belum punya nama, maka HAMKA langsung memberi nama Rusjdi. Sedangkan nama S. Abrus di belakang nama Rusjdi merupakan nama dari  Sarmin Abrus.

“Nama Abangda Rusjdi itu sama dengan salah seorang putra Buya HAMKA yang bernama Rusjdi HAMKA,”  ujar adik kandungnya Rusman S. Abrus.

Kelak anak Rusmin Abrus  yakni   Rustam S. Abrus dan Rusjdi S. Abrus menjadi orang penting di Riau. Rustam  S. Abrus pernah menjadi Sekretaris Daerah dan Wakil Gubernur Riau.  Sementara  sang adik  Rusjdi S. Abrus menjadi Bupati Kuantan Singingi pertama.

Rantau Kuantan jadi  halaman belakang rumah HAMKA. Banyak murid ayahnya Syekh Karim Amarullah dan abang iparnya AR. Sutan Mansur yang berasal dari Rantau Kuantan. 

HAMKA juga punya banyak kawan di rantau Kuantan yang kelak mengembankan Muhammadiyah di kampung halamannya masing-masing. Sebagian ada pula yang  bergabung dengannya di  Partai Masyumi.

Sulaiman Khatib lahir di  Desa Kinali Kuantan Mudik tahun 1913.  Ia punya dua istri: Fatimah dan Intan Sarah.  Dari Fatimah, ia punya seorang  anak Juniswati. Sedangkan dari Intan Sarah, ia punya tujuh orang. Yakni  Yunilas lahir 1950, Sayuti (1952), Maimun (1954),  Akmal (1957), Nurbdra (1960), Asmara (1962), dan Masrul (1965)

Sulaiman Khatib yang pernah bekerja sebagai PNS Dinas Sosial meninggal dunia tahun 1988. Ia dimakamkan di Desa Kinali, Kuantan Mudik.

Penulis: Sahabat Jang Itam

Ikuti Terus Riauin

Berita Terkait

Berita Terpopuler